2 Mei 2013

MENCONTEK SAAT UN, Harus Dibasmi.




Oleh: Anik Mustikareni
 
D
ewasa ini, semakin banyak pelajar atau mahasiswa yang menjadikan sekolah sebagai sarana pencarian gelar dan gengsi belaka. “Gawe opo sinau sregep, sing penting suk yo lulus (buat apa belajar yang penting nanti juga bisa lulus)”, begitulah yang penulis ingat dari kata-kata seorang teman mahasiswa, mahasiswa PTS di Ponorogo beberapa waktu yang lalu.
Mungkin kita telah terbiasa dengan keadaan ini. Tidak adakah upaya yang seharusnya kita lakukan untuk mengubah? Berawal dari hal kecil ini dapat berdampak besar yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Kuman, misalnya, bila tidak segera dibasmi akan menimbulkan penyakit. Jika kita meminjam analog ini maka mencontek bias jadi adalah kuman pendidikan yang akan terus menggerogoti mutu pen-didikan di masa depan.
Budaya “mencontek” ini sudah menjadi tradisi di tingkat satuan pendidikan mana pun. Hal ini  banyak kita jumpai mulai dari satuan pendidikan yang rendah hingga jenjang yang lebih tinggi. Lalu apa gunanya ujian bila melihat semua itu guru hanya diam? Apa itu hanya cover ketuntasan belajar? Meski banyak yang menyadari, sulit rasanya mengubah keadaan ini. Guru saja, yang mengejar sertifikasi suka mencontek karya milik orang lain. Lalu, bagaimana yang terjadi dengan anak didik mereka? Apakah patut dipersalahkan jika anak didik mereka melakukan hal yang sama? Tentunya tidak, sebab dalam peribahasa kita sudah dikatakan, Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.
Tidak perlu diterangkan, semua yang mengenyam manisnya pendidikan tentu tahu dan paham apa itu mencontek. Bahkan mungkin masyarakat kita telah menyadari hal itu sebagai hal yang biasa. Mereka ber-anggapan bahwa hal itu sulit dihapuskan. Kejadian mencotek ini banyak ditemui dalam proses pembelajaran di kelas. Seorang guru sering melarang ketika murid-muridnya sedang mengikuti ujian, bahkan juga saat mengikuti UN. Para siswa sering memiliki aneka trik mencontek, diantaranya “mencontek di paha”, “mencontek fotocopy” skala kecil, dan yang paling tren mencontek via HP. Semakin banyak jenis mencontek tentunya itu sudah membuktikan semakin banyak pula penganut paham mencontek ini. Bisa jadi mencontek sudah menjadi candu. Seperti sabu-sabu, mencoba sekali akan ketagihan dan terus mengulanginya berkali-kali (Asyiik dech).
Beberapa kenyataan di atas meng-ingatkan kita betapa semakin terpuruknya pendidikan kita. Mengapa kuman pendidikan yang satu ini terus mewabah? Tentu banyak faktor yang mendorongnya untuk melakukan hal ini. Semakin bertambah saja pelajar dan mahasiswa kita yang tergiur untuk mendekati dan mencicipi kuman yang satu ini. Faktor apa sajakah yang mempengaruhinya? Berikut ini dikemukakan analisis kritis terkait dengan kemungkinan faktor-faktor yang menimbul-kannya.
Pertama, kebiasaan ikut-ikutan. Faktor ini disebabkan karena orang-orang yang berada disekilingnya menganut sistem mencontek dan jika tidak mengikutinya merasa diasingkan. Jika rasa percaya diri seseorang tidak kuat dengan pengaruh lingkungan tersebut, maka akan hanyut dalam kebiasaan tersebut. Sesuatu yang banyak akan menutupi sesuatu yang kecil. Seharusnya yang terjadi adalah bagaimana sesuatu yang kecil itu mampu merengkuh sesuatu yang besar tersebut. Melakukan kebaikan memang sulit, tak semudah melakukan keburukan.
Kedua, kurangnya rasa percaya diri seseorang. Perlunya guru menananamkan rasa percaya diri kepada  peserta didik sangat membantu untuk menjadikankan pribadi yang baik. Sekaligus mampu melawan kuman “mencontek”, bahkan hal itu merupakan wujud perlindungan guru terhadap peserta didiknya. Meskipun  selain faktor guru, faktor diri sendiri, orang tua dan lingkungan juga sangat mempengaruhi rasa percaya diri seseorang. Dengan adanya rasa percaya diri akan mematahkan godaan untuk mencontek.
Ketiga, karena faktor “MMT”: Malas, Mepet, dan Terpaksa. Ini salah satu faktor mencontek yang diungkapan beberapa teman pelajar. Memang benar ada sebagian yang berpikir  untuk apa harus belajar sedang ada hal mudah yang dapat kita lakukan yaitu dengan mencontek. Alasanya yang sering mereka kemukakan adalah karena  kegiatan yang bertumpuk dan kebiasaan tidak mau meluangkan waktu belajar. Padahal banyak diantara mereka menjadikan kegiatan itu  hanya untuk main-main saja, bukan untuk mengembangkan potensi dan kecerdasan sosialnya. Malahan mereka berpandangan dengan mempersiapkan segala sesuatu untuk mencontek sudah dianggap belajar. Misalnya, membuat contekan di kertas dengan ukuran tulisan yang kecil. Bukankah dengan begitu kita telah membaca dibarengi dengan kegiatan menulis? Itu sudah merupakan belajar tapi sayangnya arah filosofinya bukan pada tempatnya.
Ada yang menyatakan “seseorang yang membiasakan mencontek menyebabkan seseorang menjadi koruptor”. Ungkapan ini jika kita telaah lebih dalam memang benar. Mencontek adalah kebohongan. Dengan mencontek sama saja dengan membohongi diri sendiri. Kebohongan kecil adalah awal kebohongan besar. Kalau kita berani membohongi diri sendiri tentu akan memicu kita membohongi orang lain. Koruptor lahir dari kebohongan. Dengan tradisi memcontek, apakah kita mau melihat banyaknya koruptor di negara ini?
Ada anggapan orang yang pintar akan lebih pintar untuk mencontek. Meskipun kenyataan itu benar, tidak seharusnya mencontek semakin membudaya dengan alasan atau sebab apa pun. Pelajar dan mahasiwa tentu tahu belajar adalah sebuah kebutuhan. Jadi sudah seharusnya kita yang berada di perguruan tinggi memberi contoh kepada mereka yang berada di bawah kita. Bagi anda calon guru, ingatlah anak kita akan berkelakuan tak jauh berbeda dari apa yang kita lakukan. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Jauhkan dan lindungi diri kita dari kuman pendidikan! Tanamkanlah selalu kebajikan, suatu saat nanti akan tumbuh benih-benih anak bangsa yang bermutu, yang membawa kemajuan bagi negara ini.
Ada mungkin yang tidak setuju dengan berbagai pernyataan yang telah dikemukakan sebelumnya. Namun, kesadaran itu penting, “bukankah mencegah lebih baik dari pada mengobati?begitulah semboyan kesehatan yang sengaja penulis pinjam untuk bidang pendidikan. Mungkin kita berpandangan telah terlambat melakukan pencegahan sedangkan yang kita butuhkan adalah pengobatan atas penyakit yang ditimbulkan oleh kuman-kuman pendidikan.
Tetapi untuk tunas-tunas pendidikan ke depan, ada baiknya kita terus tanamkan upaya pencegahan ini secara berkelanjutan. Meskipun, kuman-kuman pendidikan itu telah tersebar kemana-mana perlu banyak cara yang kita lakukan agar kuman-kuman itu segera dapat kita basmi. Oke? Mengapa? Agar kita bisa melihat kesehatan pendidikan kita pulih dan menjadi lebih baik di masa depan! No kuman……..No Mencontek  …………!

*Penulis adalah Mahasiswa PBSI A Angkatan 2008 R





           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar