30 April 2013

Esai : Peran Pergerakan Mahasiswa dalam Proses Humanisasi Pendidikan


Oleh : EKO HENDRI SAIFUL

Ketika Wiliam Shakespeare mengatakan honesty is the best policy, kejujuran adalah kebijakan terbaik, tentu maksudnya tak sekadar memerkarakan bahwa kebohongan adalah sesuatu yang buruk, atau berdosa dalam bahasa agama. Lebih dari itu, kejujuran adalah sesuatu yang menjadi tuntutan sekaligus kewajiban bagi kita semua. Kejujuran merupakan pondasi terkuat ketika kita ingin membangun sebuah keluarga, masyarakat maupun negara.
  Seperti apa yang diungkapkan oleh Wiliam Shakespeare, bahwa setiap manusia yang bernafas harus mampu melakukan kejujuran. Termasuk Mahasiswa. Mahasiswa identik dengan kaum pergerakan. Kaum yang senantiasa bergerak, menggugat keotoriteran golongan demi terciptanya sebuah keharmonisan dalam kehidupan bernegara. Kaum yang hingga kini telah terbukti mampu mengubah keadaan yang bersifat kedaerahan maupun nasional. Seperti sosok pemuda Soekarno, yang mulai berpidato di usia 16 tahun. Telah teruji pula dengan terbentuknya Budi Utomo yang diprakarsai oleh seorang pemuda yang bernama dr. Soetomo. Kemerdekaan Indonesia yang berhasil diraih dengan semangat kepemudaannya, hingga peristiwa Mei 1998 yang berhasil memporak-porandakan rezim Soeharto dan  melahirkan era reformasi.
Kini sudah saatnya mahasiswa bersungguh-sungguh untuk kembali melakukan perubahan. Sepertinya tidaklah efektif jika memilih jalur demonstrasi yang sering dilakukan oleh mahasiswa. Atau memasuki dunia politik yang masih diselimuti awan hitam. Pemerintah lebih banyak memiliki pasokan senapan dari pada suara teriakan kita.  Usaha yang paling mudah  adalah mengawalinya dari bidang pendidikan.
Melalui pendidikan akan tercipta sebuah politik yang sehat secara akal dan nurani di masa depan. Pendidikan pulalah yang akan menyelamatkan dan membekali kita dengan intelektual dan skill yang dapat kita gunakan untuk hidup. Sementara  kemiskinan dan kriminalitas akan hilang secara perlahan –lahan. Terkalahkan oleh kedisiplinan dan keuletan. Pastinya kita juga bermimpi untuk mengembalikan karakter bangsa yang kokoh lewat pendidikan. Lalu model pendidikan seperti apa yang sebaiknya  kita pilih?
Persoalan yang dihadapi bangsa ini hari ke hari semakin banyak tanpa ada titik terang penyelesaiannya. Ini karena kedurhakaan yang sudah mengingkari prinsip untuk menjunjung kejujuran. Akibatnya, semua lini kehidupan mengalami persoalan dan cobaan yang tak habis-habisnya, bahkan makin parah.  Keadaan lebih kritis ketika kita mulai kehabisan sumber daya alam yang terserap oleh keserakaan masyarakat yang tidak bertanggung jawab. Anehnya, masyarakat di negeri ini memiliki kecenderungan untuk  mengkritik dan menyalahkan orang lain daripada merefleksi diri sendiri.
Sebuah cerpen 13 Kopi Kecil dan Asap Rokok karya Misbach Yusa Biran mungkin bisa menggambarkan situasi di negeri ini. Negeri yang dihuni oleh orang-orang yang gemar mengkritik dan saling mencaci. Cerpen ini mengisahkan seorang yang mengaku seniman drama, namanya QRS Tanjung. Ia berlagak seperti seniman besar, sering mengomel tentang masyarakat yang buta seni, sekaligus mengkritik siapa saja dengan alasan-alasan seenaknya. Padahal, niatnya hanya untuk mendapatkan pangkat dan kehormatan. Seperti orang-orang yang lebih menyukai mengkritik orang lain daripada merefleksi diri sendiri untuk bersatu menyelesaikan persoalan yang terjadi.
Menengok dunia pendidikan, kita memiliki beberapa masalah. Salah satunya kesulitan dalam memilih model pembelajaran yang sesuai dengan karakter bangsa. Penyusunan kurikulum yang berubah-ubah, dari mulai kurikulum 1994, KBK (Kurikulum Berbasis Komptensi)  hingga yang terakhir  KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), belum mampu meningkatkan kualitas intelektual dan produktivitas yang tinggi dari peserta didik.  Sebaliknya, angka pengangguran terdidik semakin tinggi karena banyaknya kualitas peserta didik yang tidak sesuai dengan kualitas ijazahnya.  Masalah lain muncul terkait dengan desentralisasi pendidikan yang hanya berpusat pada anak kaum kapitalis tanpa memberikan kesempatan pada  wong cilik untuk merasakan pendidikan yang berkualitas. Sertifikasi atau penambahan ’’dana talangan’’ bagi guru bukannya menambah kesejahteraan dan kepuasan para siswa dalam menyerap ilmu, justru menjadi prioritas guru sebagai sarana memperkaya diri dan adu gengsi.
Arysio Santos (2009) yang melacak jejak negeri Atlantis yang merujuk dari ungkapan plato, meyakini Indonesia adalah negeri mitologis, dimana peradaban tinggi, teknologi maju, hingga sumber daya manusia unggul menjadi ciri kemajuan kebudayaan maritim sekaligus karakter bangsa yang kuat. Karakter inilah yang belum banyak disentuh di dunia pendidikan.
 Proses pendidikan yang berlangsung harus mampu membentuk karakter warga negara sehingga pada akhirnya terbentuk karakter bangsa yang kuat. Kita tidak membutuhkan model pembelajaran yang modern, menggunakan teknologi canggih, dan mengeluarkan banyak biaya yang justru akan menyimpang dari hakikat dan tujuan pendidikan. Namun, kita membutuhkan pendidikan yang humanis: menyentuh kepada siswa, guru dan tenaga kependidikan lainnya. Pemerintah, pelaku pendidikan, dan masyarakat harus menyatukan pemikiran,  mulai menciptakan pendidikan yang humanis yang mampu dirasakan oleh seluruh warga Indonesia.  Seperti tujuan Bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4.  Tanpa terkecuali mahasiswa, sebagai kaum pergerakan.
             Mahasiswa harus berperan dalam proses humanisasi pendidikan serta  membantu kesulitan para guru yang masih linglung untuk mengembalikan hakikat dan tujuan pendidikan nasional. Organisasi-organisasi seperti HMI, KAMMI, PMII, PPMI dan organisasi pemuda lainnya yang sudah mencatatkan namanya di lukisan indah sejarah kepemudaan harus bersatu untuk mengatasi persoalan pendidikan jika tidak mau dianggap sebagai organisasi yang mati suri. Proses pendidikan yang matrialistis dan hanya memihak kaum kapitalis harus direformasi. Di samping itu kewajiban utama yang tiada boleh dilupakan ialah  belajar untuk  meningkatkan kualitas diri yang memiliki daya saing di masa depan untuk mengejar marathon China. Tak kalah pentingnya ide dan kreativitas untuk mendukung pendidikan yang humanis dan berkarakter.
                 Dengan pendidikan yang humanis, pembangunan karakter bangsa dapat dirintis secara konsisten. Untuk mewujudkan itu semua kita masih membutuhkan satu hal yaitu kepemimpinan yang menjunjung tinggi kebenaran, yang kelak akan berada di pundak mahasiswa sebagai putra mahkota bangsa.  Seperti  guru yang selalu membawa lentera di malam gelap yang selalu menerangi mimpi anak-anaknya. Guru bagi pemerintah, masyarakat,  keluarga, maupun dirinya  sendiri.
             Akhirnya, realisme pendidikan kita butuh peran humanis mahasiswa. Peran yang tidak sekadar demonstrasi tetapi lebih filosofis untuk aktif menciptakan pendidikan yang humanis. Bukankah kehidupan mutakhir begitu membutuhkan humanisme?

Eko Hendri Saiful
Ketua Himpunan Mahasiswa Penulis (HMP) STKIP PGRI Ponorogo Tahun 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar