Oleh: Anik Mustikareni
D
|
ewasa ini, semakin banyak pelajar atau mahasiswa
yang menjadikan sekolah sebagai sarana pencarian gelar dan gengsi belaka. “Gawe opo sinau sregep, sing penting suk yo
lulus (buat apa belajar yang penting nanti juga bisa lulus)”, begitulah
yang penulis ingat dari kata-kata seorang teman mahasiswa, mahasiswa PTS di
Ponorogo beberapa waktu yang lalu.
Mungkin kita telah terbiasa
dengan keadaan ini. Tidak adakah upaya yang seharusnya kita lakukan untuk mengubah?
Berawal dari hal kecil ini dapat berdampak besar yang tak pernah kita bayangkan
sebelumnya. Kuman, misalnya, bila tidak segera dibasmi akan menimbulkan
penyakit. Jika kita meminjam analog ini maka mencontek bias jadi adalah kuman
pendidikan yang akan terus menggerogoti mutu pen-didikan di masa depan.
Budaya “mencontek” ini sudah
menjadi tradisi di tingkat satuan pendidikan mana pun. Hal ini banyak kita jumpai mulai dari satuan
pendidikan yang rendah hingga jenjang yang lebih tinggi. Lalu apa gunanya ujian
bila melihat semua itu guru hanya diam? Apa itu hanya cover ketuntasan belajar? Meski banyak yang menyadari, sulit
rasanya mengubah keadaan ini. Guru saja, yang mengejar sertifikasi suka mencontek
karya milik orang lain. Lalu, bagaimana yang terjadi dengan anak didik mereka? Apakah
patut dipersalahkan jika anak didik mereka melakukan hal yang sama? Tentunya
tidak, sebab dalam peribahasa kita sudah dikatakan, Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.
Tidak perlu diterangkan, semua
yang mengenyam manisnya pendidikan tentu tahu dan paham apa itu mencontek.
Bahkan mungkin masyarakat kita telah menyadari hal itu sebagai hal yang biasa.
Mereka ber-anggapan bahwa hal itu sulit dihapuskan. Kejadian mencotek ini
banyak ditemui dalam proses pembelajaran di kelas. Seorang guru sering melarang
ketika murid-muridnya sedang mengikuti ujian, bahkan juga saat mengikuti UN.
Para siswa sering memiliki aneka trik mencontek, diantaranya “mencontek di paha”,
“mencontek fotocopy” skala kecil, dan
yang paling tren mencontek via HP. Semakin banyak jenis mencontek tentunya itu
sudah membuktikan semakin banyak pula penganut paham mencontek ini. Bisa jadi
mencontek sudah menjadi candu. Seperti sabu-sabu, mencoba sekali akan ketagihan
dan terus mengulanginya berkali-kali (Asyiik dech).
Beberapa kenyataan di atas
meng-ingatkan kita betapa semakin terpuruknya pendidikan kita. Mengapa kuman
pendidikan yang satu ini terus mewabah? Tentu banyak faktor yang mendorongnya
untuk melakukan hal ini. Semakin bertambah saja pelajar dan mahasiswa kita yang
tergiur untuk mendekati dan mencicipi kuman yang satu ini. Faktor apa sajakah
yang mempengaruhinya? Berikut ini dikemukakan analisis kritis terkait dengan
kemungkinan faktor-faktor yang menimbul-kannya.
Pertama, kebiasaan ikut-ikutan. Faktor ini disebabkan karena orang-orang yang berada
disekilingnya menganut sistem mencontek dan jika tidak mengikutinya merasa
diasingkan. Jika rasa percaya diri seseorang tidak kuat dengan pengaruh
lingkungan tersebut, maka akan hanyut dalam kebiasaan tersebut. Sesuatu yang
banyak akan menutupi sesuatu yang kecil. Seharusnya yang terjadi adalah
bagaimana sesuatu yang kecil itu mampu merengkuh sesuatu yang besar tersebut.
Melakukan kebaikan memang sulit, tak semudah melakukan keburukan.
Kedua, kurangnya rasa percaya diri seseorang.
Perlunya guru menananamkan rasa percaya diri kepada peserta didik sangat membantu untuk menjadikankan
pribadi yang baik. Sekaligus mampu melawan kuman “mencontek”, bahkan hal itu
merupakan wujud perlindungan guru terhadap peserta didiknya. Meskipun selain faktor guru, faktor diri sendiri, orang
tua dan lingkungan juga sangat mempengaruhi rasa percaya diri seseorang. Dengan
adanya rasa percaya diri akan mematahkan godaan untuk mencontek.
Ketiga, karena faktor
“MMT”: Malas, Mepet, dan Terpaksa. Ini
salah satu faktor mencontek yang diungkapan beberapa teman pelajar. Memang
benar ada sebagian yang berpikir untuk apa harus belajar sedang ada hal mudah
yang dapat kita lakukan yaitu dengan mencontek. Alasanya yang sering mereka kemukakan adalah karena kegiatan yang bertumpuk dan kebiasaan tidak mau meluangkan waktu belajar. Padahal banyak diantara mereka
menjadikan kegiatan itu hanya untuk main-main saja, bukan untuk
mengembangkan potensi dan kecerdasan sosialnya. Malahan mereka berpandangan dengan mempersiapkan segala sesuatu untuk mencontek sudah dianggap belajar. Misalnya,
membuat contekan di kertas dengan ukuran tulisan yang kecil. Bukankah dengan
begitu kita telah membaca dibarengi dengan kegiatan menulis? Itu sudah merupakan belajar tapi
sayangnya arah filosofinya bukan pada tempatnya.
Ada yang menyatakan “seseorang
yang membiasakan mencontek menyebabkan seseorang menjadi koruptor”. Ungkapan
ini jika kita telaah lebih dalam memang benar. Mencontek adalah kebohongan. Dengan
mencontek sama saja dengan membohongi diri sendiri. Kebohongan kecil adalah
awal kebohongan besar. Kalau kita berani membohongi diri sendiri tentu akan
memicu kita membohongi orang lain. Koruptor lahir dari kebohongan. Dengan
tradisi memcontek, apakah kita mau melihat banyaknya koruptor di negara ini?
Ada anggapan orang yang pintar
akan lebih pintar untuk mencontek. Meskipun kenyataan itu benar, tidak seharusnya
mencontek semakin membudaya dengan alasan atau sebab apa pun. Pelajar dan mahasiwa tentu tahu belajar adalah sebuah kebutuhan. Jadi sudah seharusnya kita yang berada di
perguruan tinggi memberi contoh
kepada mereka yang berada di bawah kita. Bagi anda calon guru, ingatlah anak kita akan berkelakuan tak jauh
berbeda dari apa yang kita lakukan. Buah jatuh tak jauh dari
pohonnya. Jauhkan dan lindungi
diri kita dari kuman pendidikan! Tanamkanlah selalu kebajikan, suatu saat nanti akan tumbuh benih-benih anak
bangsa yang bermutu, yang
membawa kemajuan bagi negara ini.
Ada mungkin yang tidak setuju
dengan berbagai pernyataan yang telah dikemukakan sebelumnya.
Namun, kesadaran itu
penting, “bukankah mencegah
lebih baik dari pada mengobati?” begitulah semboyan kesehatan
yang sengaja penulis pinjam untuk bidang pendidikan. Mungkin
kita berpandangan telah terlambat melakukan pencegahan sedangkan yang kita
butuhkan adalah pengobatan atas penyakit yang ditimbulkan oleh kuman-kuman
pendidikan.
Tetapi untuk tunas-tunas pendidikan ke depan, ada baiknya kita terus
tanamkan upaya pencegahan ini secara berkelanjutan. Meskipun, kuman-kuman pendidikan itu telah tersebar
kemana-mana perlu banyak cara yang kita lakukan agar kuman-kuman itu segera
dapat kita basmi. Oke? Mengapa?
Agar kita bisa melihat kesehatan
pendidikan kita pulih dan menjadi lebih baik di masa depan!
No kuman……..No Mencontek …………!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar