Oleh
: EKO HENDRI SAIFUL
Ketika Wiliam Shakespeare mengatakan honesty is the best policy, kejujuran adalah kebijakan terbaik,
tentu maksudnya tak sekadar memerkarakan bahwa kebohongan adalah sesuatu yang
buruk, atau berdosa dalam bahasa agama. Lebih dari itu, kejujuran adalah sesuatu
yang menjadi tuntutan sekaligus kewajiban bagi kita semua. Kejujuran merupakan
pondasi terkuat ketika kita ingin membangun sebuah keluarga, masyarakat maupun
negara.
Seperti apa yang diungkapkan
oleh Wiliam Shakespeare, bahwa setiap manusia yang bernafas harus mampu
melakukan kejujuran. Termasuk Mahasiswa. Mahasiswa identik dengan kaum
pergerakan. Kaum yang senantiasa bergerak, menggugat keotoriteran golongan demi
terciptanya sebuah keharmonisan dalam kehidupan bernegara. Kaum yang hingga
kini telah terbukti mampu mengubah keadaan yang bersifat kedaerahan maupun
nasional. Seperti sosok pemuda Soekarno, yang mulai berpidato di usia 16 tahun.
Telah teruji pula dengan terbentuknya Budi Utomo yang diprakarsai oleh seorang
pemuda yang bernama dr. Soetomo. Kemerdekaan Indonesia yang berhasil diraih
dengan semangat kepemudaannya, hingga peristiwa Mei 1998 yang berhasil
memporak-porandakan rezim Soeharto dan
melahirkan era reformasi.
Kini sudah saatnya mahasiswa bersungguh-sungguh untuk kembali melakukan
perubahan. Sepertinya tidaklah efektif jika memilih jalur demonstrasi yang
sering dilakukan oleh mahasiswa. Atau memasuki dunia politik yang masih
diselimuti awan hitam. Pemerintah lebih banyak memiliki pasokan senapan dari
pada suara teriakan kita. Usaha yang
paling mudah adalah mengawalinya dari
bidang pendidikan.
Melalui pendidikan akan tercipta sebuah politik yang sehat secara akal dan
nurani di masa depan. Pendidikan pulalah yang akan menyelamatkan dan membekali
kita dengan intelektual dan skill yang dapat kita gunakan untuk hidup. Sementara kemiskinan dan kriminalitas akan hilang
secara perlahan –lahan. Terkalahkan oleh kedisiplinan dan keuletan. Pastinya
kita juga bermimpi untuk mengembalikan karakter bangsa yang kokoh lewat
pendidikan. Lalu model pendidikan seperti apa yang sebaiknya kita pilih?
Persoalan yang dihadapi bangsa ini hari ke hari semakin banyak tanpa ada
titik terang penyelesaiannya. Ini karena kedurhakaan yang sudah mengingkari prinsip
untuk menjunjung kejujuran. Akibatnya, semua lini kehidupan mengalami persoalan
dan cobaan yang tak habis-habisnya, bahkan makin parah. Keadaan lebih kritis ketika kita mulai
kehabisan sumber daya alam yang terserap oleh keserakaan masyarakat yang tidak
bertanggung jawab. Anehnya, masyarakat di negeri ini memiliki kecenderungan
untuk mengkritik dan menyalahkan orang lain
daripada merefleksi diri sendiri.
Sebuah cerpen 13 Kopi Kecil dan
Asap Rokok karya Misbach Yusa Biran mungkin bisa menggambarkan situasi di
negeri ini. Negeri yang dihuni oleh orang-orang yang gemar mengkritik
dan saling mencaci. Cerpen ini mengisahkan seorang yang mengaku seniman drama,
namanya QRS Tanjung. Ia berlagak seperti seniman besar, sering mengomel tentang
masyarakat yang buta seni, sekaligus mengkritik siapa saja dengan alasan-alasan
seenaknya. Padahal, niatnya hanya untuk mendapatkan pangkat dan kehormatan. Seperti
orang-orang yang lebih menyukai mengkritik orang lain daripada merefleksi diri
sendiri untuk bersatu menyelesaikan persoalan yang terjadi.
Menengok dunia pendidikan, kita memiliki beberapa masalah. Salah satunya kesulitan
dalam memilih model pembelajaran yang sesuai dengan karakter bangsa. Penyusunan
kurikulum yang berubah-ubah, dari mulai kurikulum 1994, KBK (Kurikulum Berbasis Komptensi) hingga yang terakhir KTSP (Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan), belum mampu meningkatkan kualitas intelektual
dan produktivitas yang tinggi dari peserta didik. Sebaliknya, angka pengangguran terdidik
semakin tinggi karena banyaknya kualitas peserta didik yang tidak sesuai dengan
kualitas ijazahnya. Masalah lain muncul
terkait dengan desentralisasi pendidikan yang hanya berpusat pada anak kaum
kapitalis tanpa memberikan kesempatan pada wong cilik untuk merasakan pendidikan
yang berkualitas. Sertifikasi atau penambahan ’’dana talangan’’ bagi guru
bukannya menambah kesejahteraan dan kepuasan para siswa dalam menyerap ilmu,
justru menjadi prioritas guru sebagai sarana memperkaya diri dan adu gengsi.
Arysio Santos (2009) yang melacak jejak negeri Atlantis yang merujuk dari
ungkapan plato, meyakini Indonesia adalah negeri mitologis, dimana peradaban
tinggi, teknologi maju, hingga sumber daya manusia unggul menjadi ciri kemajuan
kebudayaan maritim sekaligus karakter bangsa yang kuat. Karakter inilah yang
belum banyak disentuh di dunia pendidikan.
Proses pendidikan yang berlangsung
harus mampu membentuk karakter warga negara sehingga pada akhirnya terbentuk
karakter bangsa yang kuat. Kita tidak membutuhkan model pembelajaran yang
modern, menggunakan teknologi canggih, dan mengeluarkan banyak biaya yang
justru akan menyimpang dari hakikat dan tujuan pendidikan. Namun, kita membutuhkan
pendidikan yang humanis: menyentuh kepada siswa, guru dan tenaga kependidikan
lainnya. Pemerintah, pelaku pendidikan, dan masyarakat harus menyatukan pemikiran, mulai menciptakan pendidikan yang humanis
yang mampu dirasakan oleh seluruh warga Indonesia. Seperti tujuan Bangsa Indonesia yang tertuang
dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4.
Tanpa terkecuali mahasiswa, sebagai kaum pergerakan.
Mahasiswa harus berperan dalam proses humanisasi
pendidikan serta membantu kesulitan para
guru yang masih linglung untuk mengembalikan
hakikat dan tujuan pendidikan nasional. Organisasi-organisasi seperti HMI,
KAMMI, PMII, PPMI dan organisasi pemuda lainnya yang sudah mencatatkan namanya
di lukisan indah sejarah kepemudaan harus bersatu untuk mengatasi persoalan pendidikan
jika tidak mau dianggap sebagai organisasi yang mati suri. Proses
pendidikan yang matrialistis dan hanya memihak kaum kapitalis harus direformasi.
Di samping itu kewajiban utama yang tiada boleh dilupakan ialah belajar untuk meningkatkan kualitas diri yang memiliki daya
saing di masa depan untuk mengejar marathon China. Tak kalah pentingnya ide dan
kreativitas untuk mendukung pendidikan yang humanis dan berkarakter.
Dengan pendidikan yang humanis, pembangunan karakter
bangsa dapat dirintis secara konsisten. Untuk mewujudkan itu semua kita masih
membutuhkan satu hal yaitu kepemimpinan yang menjunjung tinggi kebenaran, yang
kelak akan berada di pundak mahasiswa sebagai putra mahkota bangsa. Seperti guru yang selalu membawa lentera di malam
gelap yang selalu menerangi mimpi anak-anaknya. Guru bagi pemerintah,
masyarakat, keluarga, maupun
dirinya sendiri.
Akhirnya, realisme pendidikan kita butuh peran humanis
mahasiswa. Peran yang tidak sekadar demonstrasi tetapi lebih filosofis untuk
aktif menciptakan pendidikan yang humanis. Bukankah kehidupan mutakhir begitu
membutuhkan humanisme?
Eko
Hendri Saiful
Ketua Himpunan Mahasiswa
Penulis (HMP) STKIP PGRI Ponorogo Tahun 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar